Topik : Perkawinan Beda Agama
Judul : Pro Kontra Perkawinan Beda Agama
Kerangka : BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN DAN MANFAAT
BAB II ISI
A.
ARTI
PERKAWINAN
A.1.
MENURUT AGAMA
A.2. MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PERDATA
A.3.
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
B. BEBERAPA PANDANGAN ATAS PERNIKAHAN
BEDA AGAMA
C. POLA PERMASALAHAN
D. KAJIAN HUKUM DAN HAM
E. PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT HUKUM
INDONESIA
F. PRO KONTRA PERKAWINAN BEDA AGAMA
DI INDONESIA
BAB III PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia yang
berlandaskan pada Pancasila dan berkonstitusi pada Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 sekarang ini masih belum mampu untuk menjadi pedoman hidup
bagi sebagian masyarakat pada daerah tertentu. Ya, polemik yang paling utama
adalah mengenai kepercayaan yang dianut oleh masing-masing individu. Hubungan
antar umat beragama telah lama menjadi isu yang populer di Indonesia. Tapi di
sini saya ingin lebih memfokuskan membahas pada sebuah isu mengenai
perkawinan/pernikahan beda agama yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan
oleh khayalak umum khususnya di Indonesia yang katanya kasus ini akan
dibawa/digugat ke majelis hukum tertinggi di Indonesia yaitu Mahkamah
Konstitusi.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana perkawinan/pernikahan beda
agama menurut hukum di Indonesia ?
2.
Bagaimana masyarakat menanggapi
perkawinan/pernikahan beda agama ini ?
C. TUJUAN DAN MANFAAT
1.
Untuk mengetahui pengertian
perkawinan/pernikahan
2.
Untuk mengetahui perkawinan/pernikahan
beda agama menurut hukum di Indonesia
3.
Untuk mengetahui anggapan masyarakat
mengenai perkawinan/pernikahan beda agama yang terjadi di Indonesia ini
BAB II
ISI
A. ARTI PERKAWINAN
Pada bagian ini saya
akan menjelaskan arti perkawinan itu sendiri dari berbagai sudut pandang
perspektif yang umum di Indonesia seperti suku,budaya,agama,dan lain
sebagainya. Tetapi di sini, saya membaginya dalam tiga subsub bab, yaitu
1. Menurut Agama
Perkawinan
atau pernikahan dalam segi agama itu banyak, bisa dari agama Islam, Katolik,
Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu. Tetapi, pengertian pernikahan secara umum
menurut agama adalah upacara pengikatan janji
nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan
maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma
hukum, dan norma
sosial.
2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
Perkawinan
menurut BurgerlijkWetbok(Belanda) atau
di Indonesia menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang sering disingkat
menjadi KUHPerdata adalah suatu pertalian yang sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama dan Undang-Undang ini memandang
perkawinan hanya dari hubungan keperdataannya saja (Pasal 26 BurgerlijkWetboek).
3. Menurut U-ndang-Undang No 1 Tahun 1974
Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita
sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa.
B. BEBERAPA PANDANGAN ATAS PERNIKAHAN
BEDA AGAMA
1. Pernikahan
beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran terhadap undang-undang
perkawinan berdasarkan pada pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf (f) yang dengan
tegas menyebutkan hal itu. Oleh karena itu pernikahan beda agama adalah tidak
sah dan batal demi hukum.
2. Pernikahan
beda agama adalah diperbolehkan dan sah dan oleh sebab itu dapat dilangsungkan,
sebab pernikahan tersebut termasuk dalam pernikahan campuran. Menurut pendapat
ini titik tekan pasal 57 tentang perkawinan campuran terletak pada “dua orang yang
di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan”. Oleh karena itu pasal tersebut
tidak saja mengatur pernikahan antara dua orang yang memiliki kewarganegaraan
yang berbeda tetapi juga mengatur pernikahan antara dua orang yang berbeda
agama. Menurut pendapat ini pelaksanaan pernikahan beda agama dilakukan menurut
tata cara yang diatur oleh pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran.
3. Undang-undang
pernikahan tidak mengatur tentang masalah pernikahan beda agama. Oleh karena
itu dengan merujuk pasal 66 Undang-undang Perkawinan, maka peraturan-peraturan
lama selama Undang-undang Perkawinan belum mengaturnya dapat diberlakukan.
Dengan demikian maka masalah pernikahan beda agama harus berpedoman kepada
peraturan perkawinan campuran.
C. POLA PERMASALAHAN
Institusi-institusi
agama tidak memberikan ruang terhadap pernikahan beda agama dan UU negara
mengukuhkannya. Padahal pernikahan bukan merupakan ciptaan agama. Pernikahan
sudah ada jauh sebelum agama ada. Beberapa event yang ditemukan adalah:
1. Terjadi
bias mengenai pencatatan pernikahan. Ada kantor catatan sipil dan kantor urusan
agama. Pertanyaannya adalah mengapa
harus dibedakan? Sedangkan menurut pasal 34 ayat 2 dan ayat 4 UU no 23 tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan, institusi yang boleh mencatatnkan
pernikahan adalah kantor catatan sipil.
2. Pernikahan
beda agama di Indonesia tidak sah. Maka untuk mengakali hal tersebut ditembuh
cara-cara ekstrem, seperti melalui lembaga-lembaga tertentu (Paramadina, ICRP,
Wahid Institut) yang sebenarnya cara-cara tersebut melanggar hukum. Biaya yang
diperlukan pun jauh lebih tinggi. Hal ini tentu tidak pro rakyat kecil.
3. Salah
satu cara untuk mengakali pernikahan beda agama adalah dengan menikah di luar
negeri. Namun hal ini pun juga tidak pro rakyat kecil
4.
Tidak ada satu teks agama pun yang
secara tegas melarang pernikahan beda agama, kecuali interpretasi para pemuka
agama.
Adanya
persaingan politik yang cukup tajam. Event yang muncul di antaranya:
1. Pernikahan
dipakai sebagai alat penundukan, pembungkaman, serta kekerasan. Hal ini
berkaitan erat dengan konsep patriarki di mana keluarga berpusat pada peran
ayah sebagai kepala keluarga yang diharapkan dapat menularkan pengaruh agama ke
istri dan anak-anaknya.
2. Pada
masa Orde Baru muncul politisasi identitas. Identitas itu dipakai untuk
membangun kecurigaan dan ketakutan atas golongan yang berbeda. Hal ini untuk
memunculkan rasa kesetiaan ekstrem pada identitas masing-masing yang diharapkan
dapat mendukung permainan politik negara.
3. Ketika
RUU Perkawinan dibuat, Muhammadiyah berpendapat RUU Perkawinan bertentangan
dengan ajaran-ajaran Islam dan ada pihak yang mengatakan bahwa RUU tersebut
adalah kristenisasi terselubung.
Pernikahan
beda agama memunculkan masalah pendidikan (agama) anak yang terancam. Beberapa
konsep yang ada di masyarakat:
1. Katolik
yang menekankan bahwa anak-anaknya harus dididik secara Katolik
2. Konsep
patriarki yang menyatakan bahwa kepala keluarga dapat menularkan agamnya ke
istri dan anak-anaknya
3. Konsep
bahwa anak akan lebih dekat ke ibu sehinga agama anak akan sama dengan agama
ibu
4. Anak
akan memiliki 2 agama, yaitu agama menurut yang diajarkan di rumah dan agama
yang diajarkan di sekolah
5. Tidak
lagi memberikan peluang bagi Pemuka Agama untuk memjadi Pembantu Pegawai
Pencatatan Pernikahan
Pola
permasalahan berikutnya adalah UU Perkawinan bertentangan dengan Hak Asasi
Manusia. Event-event yang ada:
1. Menikah
adalah hak setiap orang dan negara wajib melindunginya.
2. Salah
satu jalan keluar dari pernikahan beda agama adalah salah satu pasangan pindah
agama mengikuti pasangannya. Bagi mereka yang agamanya tidak tercantum sebagai
agama yang diakui negara, mereka pun harus melembagakan diri menurut salah satu
agama. Hal ini jelas melanggar pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kebebasan setiap
orang untuk beragama
3. Semua
umat beragama mempunyai hak dari agamanya untuk mendapatkan pelayanan agamanya,
salah satunya adalah pernikahan. Namun hal ini menjadi halangan jika agama
tidak mentolerir pernikahan beda agama.
Ketika
itu terjadi pro dan kontra terhadap RUU Perkawinan sehingga adalah kompromi
negara terhadap agama. Event yang ditemukan adalah:
1.
RUU Perkawinan sedikit banyak mengacu
pada hukum pernikahan Belanda. Maka pernah muncul anggapan bahwa RUU Perkawinan
disinyalir kristenisasi.
2. Pemerintah
tidak memperhatikan protes kaum Islam terhadap RUU Perkawinan.
3.
UU Perkawinan tidak mengatur secara
eksplisit (expressis verbis) mengenai pernikahan beda agama.
D. KAJIAN HUKUM DAN HAM
Pernikahan adalah domain pribadi setiap
manusia. Dan negara berkewajiban untuk mencatatkan, bukan mengesahkan seperti
yang terjadi di Indonesia melalui UU Perkawinan yang tidak sempurna itu. Dengan
tugas negara untuk mencatatkan, maka konsekuensi yang didapat warga negaranya
adalah adanya pengakuan status hukum atas pernikahan mereka. Hal ini sesuai
dengan pasal 23 konvenan internasional hak-hak sipil dan politik yang telah
disahkan melalui UU no 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant
on Civil and Political Rights, juga ditegaskan dalam pasal 16 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia.
Bentrokan yang terjadi di Indonesia
adalah ketika pernikahan dikaitkan dengan agama. Padahal agama pun juga domain
pribadi tiap menusia. Hak menika melekat pada pribadi manusia, bukan melekat
pada agamanya. Masalah muncul ketika negara berbentrokan kelompok-kelompok
masyarakat. Ada masalah mengenai baaimana mengelola tuntutan mayoritas dan
menempatkan minoritas. Padahal dalam HAM, tidak boleh ada pengutamaan kelompok
mayoritas.
Situasi pernikahan beda agama di
Indonesia yang dipersulit negara adalah suatu bentuk pelanggaran HAM negara
terhadap warganya. Pertama, karena negara melanggar dengan membuat keputusan
yang plin-plan (ketidakjelasan UU Perkawinan mengenai pernikahan beda agama).
Kedua, karena negara melanggar dengan pengabaian masalah ini. Negara tidak
melakukan sesuatu yang mendukung, menjamin, melindungi, dan memfasilitasi
pernikahan beda agama.
Berdasarkan pola-pola permasalahan yang
ditemukan, terlihat permainan politik yang sengaja memasukkan unsur politisasi
identitas (salah satunya agama). Ini merupakan propaganda terhadap
kelompok-kelompok tertentu. Maka seharusnya dalam hal ini negara membatasi,
mengurangi propaganda tersebut, bukannya menciptakan (seperti yang terjadi saat
Orde Baru). Di sini dapat dilihat bahwa negara telah melakukan kejahatan.
Unsur politisasi juga terlihat dengan
tidak diakuinya pernikahan beda agama oleh negara dengan alasan bahwa terdapat
perbedaan antara hukum negara dengan hukum agama. Perlu dicatat bahwa hukum
negara tidak sesuai dengan hak privat warga negara. Pertentangan pernikahan
beda agama selalu dikaitkan dengan UU Perkawinan. Padahal undang-undang bukan
hukum. Bukan juga hasil kompromi setiap warga negara. Undang-undang dibuat oleh negara, pemerintah, dan DPR.
Sehingga seharusnya undang-undang melingkupi setiap kepentingan warganya
E. PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT HUKUM
INDONESIA
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991
dan Keputusan MenteriAgama Nomor 154 tahun 1991 keluarlah KompilasiHukum Islam
(KHI) yang menjadi hukum positif unikatif bagi seluruh umat Islam di Indonesia
dan menjadi pedoman para hakim di lembaga peradilan agama dan menjalankan tugas
mengadili perkara-perkara dalam bidang perkawinan,kewarisan dan
perwakafan. Apabila dilihat berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 40 ayat (c)
yang bunyinya “Dilarang perkawinan antara seorang wanita beragama Islam dengan
seorang pria yang tidak beragama Islam”. Larangan perkawinan tersebutmemiliki
alasan yang cukup kuat yaitu apabila ditinjau dari segi UUP pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1/1974 sudah jelas diterangkan bahwa “tidak
ada perkawinan di luar hukum
agamanya dan kepercayaannya” sehingga antara KHI dan hukum
perkawinan di Indonesia memiliki kaitan dalam urusan perkawinan beda agama ini.
Alasan yang kedua yaitu apabila dihubungkan dengan dalil-dalil hukum Islam
diantaranya larangan tersebut sebagai tindakan preventif untuk mencegah
terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat perkawinan beda
agama tersebut. Pada prinsipnya agama Islam melarang (haram) perkawinan
antaraseorang beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam (
Al-QuransuratAl-Baqarah ayat 221),sedangkan izin kawin seorang pria Muslim
dengan seorang wanita dari Ahli Kitab (Nasrani/Yahudi) ada pada surat Al-Maidah
ayat 5 hanyalah dispensasi bersyarat yakni kualitas iman dan Islam pria Muslim
tersebut haruslah cukup baik, karena perkawinan tersebut mengandung resiko yang
sangat tinggi bagi rumahtangganya nanti. Karena itu pemerintah berhak membuat peraturan yang melarang perkawinan antara seorang yang beragama Muslim(pria/wanita)
dengan seorang yang tidak beragama Islam(pria/wanita)apapun agamanya yang juga
didukung oleh Kompilasi Hukum Islam pasal 50 ayat (c) dan pasal 4.
.
PRO
KONTRA PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA
Di sini saya akan memaparkan berbagai pendapat juga
anggapan mengenai perkawinan beda agama dari ulama, pendeta, mahasiswa,
masyarakat biasa, dan lain sebagainya. Diantara jawaban mereka, ada yang
mendukung untuk disahkannya UU mengenai perkawinan beda agama, tetapi ada juga
yang tidak mendukung sekali usulan disahkannya UU tersebut.
Pendapat yang kontra yaitu
-Semua agama melarang,
-Pernikahan merupakan proses sakral dan dilakukan dengan upacara agama,
-Nikah adalah domain agama, maka harus sesuai ajaran agama,
-Negara hanya mengakui dan mencatat
pernikahan yang sudah disahkan agama,
-Agama tidak mengesahkan, maka negara
tidak mengakui.
Pendapat yang pro yaitu
-Negara tidak boleh mencampuri apa yang dipercaya dan tidak dipercaya
individu,
-Perkawinan adalah hak individu, negara tidak boleh mengintervensi,
-Intepretasi hukum agama dikembalikan kepada individu, bukan oleh Negara
BAB III
PENUTUP
A.
PENUTUP
Demikianlah yang
dapat saya sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam makalah ini,
tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan
kurangnya rujukan atau referensi yang saya peroleh hubungannya dengan makalah
ini. Saya berharap kepada para pembaca yang budiman memberikan kritik saran
yang membangun kepada saya demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi saya dan juga anda para pembaca. Saya
dapat menyimpulkan bahwa, pernikahan adalah merupakan sebuah karunia dan suatu
cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak,
berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap
melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan. Tidak
akan ada sebuah peristiwa perkawinan yang terjadi tanpa suatu restu atau ijin
kehendak dari-Nya.Sekian
penutup dari saya, semoga dapat diterima di hati dan saya mengucapkan
terimakasih.
DAFTAR
PUSTAKA