Jumat, 04 Desember 2015

Perkawinan beda Agama menurut Undang-undang

Topik                : Perkawinan Beda Agama
Judul                : Pro Kontra Perkawinan Beda Agama
Kerangka         : BAB I PENDAHULUAN
                            A. LATAR BELAKANG
                            B. RUMUSAN MASALAH
                            C. TUJUAN DAN MANFAAT
                            BAB II ISI
A.   ARTI PERKAWINAN
A.1. MENURUT AGAMA
A.2. MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
A.3. MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
B. BEBERAPA PANDANGAN ATAS PERNIKAHAN BEDA AGAMA
C. POLA PERMASALAHAN
D. KAJIAN HUKUM DAN HAM
E. PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT HUKUM INDONESIA
F. PRO KONTRA PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA
                            BAB III PENUTUP











BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
            Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan berkonstitusi pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sekarang ini masih belum mampu untuk menjadi pedoman hidup bagi sebagian masyarakat pada daerah tertentu. Ya, polemik yang paling utama adalah mengenai kepercayaan yang dianut oleh masing-masing individu. Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu yang populer di Indonesia. Tapi di sini saya ingin lebih memfokuskan membahas pada sebuah isu mengenai perkawinan/pernikahan beda agama yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan oleh khayalak umum khususnya di Indonesia yang katanya kasus ini akan dibawa/digugat ke majelis hukum tertinggi di Indonesia yaitu Mahkamah Konstitusi.
B.    RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana perkawinan/pernikahan beda agama menurut hukum di Indonesia ?
2.    Bagaimana masyarakat menanggapi perkawinan/pernikahan beda agama ini ?

C.    TUJUAN DAN MANFAAT
1.    Untuk mengetahui pengertian perkawinan/pernikahan
2.    Untuk mengetahui perkawinan/pernikahan beda agama menurut hukum di Indonesia
3.    Untuk mengetahui anggapan masyarakat mengenai perkawinan/pernikahan beda agama yang terjadi di Indonesia ini







BAB II
ISI

A.    ARTI PERKAWINAN
Pada bagian ini saya akan menjelaskan arti perkawinan itu sendiri dari berbagai sudut pandang perspektif yang umum di Indonesia seperti suku,budaya,agama,dan lain sebagainya. Tetapi di sini, saya membaginya dalam tiga subsub bab, yaitu
1.    Menurut Agama
          Perkawinan atau pernikahan dalam segi agama itu banyak, bisa dari agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu. Tetapi, pengertian pernikahan secara umum menurut agama adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial.
2.    Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Perkawinan menurut BurgerlijkWetbok(Belanda) atau di Indonesia menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang sering disingkat menjadi KUHPerdata adalah suatu pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama dan Undang-Undang ini memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataannya saja (Pasal 26 BurgerlijkWetboek).
3.     Menurut U-ndang-Undang No 1 Tahun 1974
        Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa.

B.    BEBERAPA PANDANGAN ATAS PERNIKAHAN BEDA AGAMA
1.    Pernikahan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan berdasarkan pada pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf (f) yang dengan tegas menyebutkan hal itu. Oleh karena itu pernikahan beda agama adalah tidak sah dan batal demi hukum.
2.    Pernikahan beda agama adalah diperbolehkan dan sah dan oleh sebab itu dapat dilangsungkan, sebab pernikahan tersebut termasuk dalam pernikahan campuran. Menurut pendapat ini titik tekan pasal 57 tentang perkawinan campuran terletak pada “dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan”. Oleh karena itu pasal tersebut tidak saja mengatur pernikahan antara dua orang yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda tetapi juga mengatur pernikahan antara dua orang yang berbeda agama. Menurut pendapat ini pelaksanaan pernikahan beda agama dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran.
3.    Undang-undang pernikahan tidak mengatur tentang masalah pernikahan beda agama. Oleh karena itu dengan merujuk pasal 66 Undang-undang Perkawinan, maka peraturan-peraturan lama selama Undang-undang Perkawinan belum mengaturnya dapat diberlakukan. Dengan demikian maka masalah pernikahan beda agama harus berpedoman kepada peraturan perkawinan campuran.

C.    POLA PERMASALAHAN
 Institusi-institusi agama tidak memberikan ruang terhadap pernikahan beda agama dan UU negara mengukuhkannya. Padahal pernikahan bukan merupakan ciptaan agama. Pernikahan sudah ada jauh sebelum agama ada. Beberapa event yang ditemukan adalah:
1.    Terjadi bias mengenai pencatatan pernikahan. Ada kantor catatan sipil dan kantor urusan agama.   Pertanyaannya adalah mengapa harus dibedakan? Sedangkan menurut pasal 34 ayat 2 dan ayat 4 UU no 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, institusi yang boleh mencatatnkan pernikahan adalah kantor catatan sipil.
2.    Pernikahan beda agama di Indonesia tidak sah. Maka untuk mengakali hal tersebut ditembuh cara-cara ekstrem, seperti melalui lembaga-lembaga tertentu (Paramadina, ICRP, Wahid Institut) yang sebenarnya cara-cara tersebut melanggar hukum. Biaya yang diperlukan pun jauh lebih tinggi. Hal ini tentu tidak pro rakyat kecil.
3.    Salah satu cara untuk mengakali pernikahan beda agama adalah dengan menikah di luar negeri. Namun hal ini pun juga tidak pro rakyat kecil
4.     Tidak ada satu teks agama pun yang secara tegas melarang pernikahan beda agama, kecuali interpretasi para pemuka agama.
Adanya persaingan politik yang cukup tajam. Event yang muncul di antaranya:
1.    Pernikahan dipakai sebagai alat penundukan, pembungkaman, serta kekerasan. Hal ini berkaitan erat dengan konsep patriarki di mana keluarga berpusat pada peran ayah sebagai kepala keluarga yang diharapkan dapat menularkan pengaruh agama ke istri dan anak-anaknya.
2.    Pada masa Orde Baru muncul politisasi identitas. Identitas itu dipakai untuk membangun kecurigaan dan ketakutan atas golongan yang berbeda. Hal ini untuk memunculkan rasa kesetiaan ekstrem pada identitas masing-masing yang diharapkan dapat mendukung permainan politik negara.
3.    Ketika RUU Perkawinan dibuat, Muhammadiyah berpendapat RUU Perkawinan bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam dan ada pihak yang mengatakan bahwa RUU tersebut adalah kristenisasi terselubung.
Pernikahan beda agama memunculkan masalah pendidikan (agama) anak yang terancam. Beberapa konsep yang ada di masyarakat:
1.    Katolik yang menekankan bahwa anak-anaknya harus dididik secara Katolik
2.    Konsep patriarki yang menyatakan bahwa kepala keluarga dapat menularkan agamnya ke istri dan anak-anaknya
3.    Konsep bahwa anak akan lebih dekat ke ibu sehinga agama anak akan sama dengan agama ibu
4.    Anak akan memiliki 2 agama, yaitu agama menurut yang diajarkan di rumah dan agama yang diajarkan di sekolah
5.    Tidak lagi memberikan peluang bagi Pemuka Agama untuk memjadi Pembantu Pegawai Pencatatan Pernikahan
Pola permasalahan berikutnya adalah UU Perkawinan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Event-event yang ada:
1.    Menikah adalah hak setiap orang dan negara wajib melindunginya.
2.    Salah satu jalan keluar dari pernikahan beda agama adalah salah satu pasangan pindah agama mengikuti pasangannya. Bagi mereka yang agamanya tidak tercantum sebagai agama yang diakui negara, mereka pun harus melembagakan diri menurut salah satu agama. Hal ini jelas melanggar pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kebebasan setiap orang untuk beragama
3.     Semua umat beragama mempunyai hak dari agamanya untuk mendapatkan pelayanan agamanya, salah satunya adalah pernikahan. Namun hal ini menjadi halangan jika agama tidak mentolerir pernikahan beda agama.
Ketika itu terjadi pro dan kontra terhadap RUU Perkawinan sehingga adalah kompromi negara terhadap agama. Event yang ditemukan adalah:
1.    RUU Perkawinan sedikit banyak mengacu pada hukum pernikahan Belanda. Maka pernah muncul anggapan bahwa RUU Perkawinan disinyalir kristenisasi.
2.    Pemerintah tidak memperhatikan protes kaum Islam terhadap RUU Perkawinan.
3.    UU Perkawinan tidak mengatur secara eksplisit (expressis verbis) mengenai pernikahan beda agama.
D.    KAJIAN HUKUM DAN HAM
Pernikahan adalah domain pribadi setiap manusia. Dan negara berkewajiban untuk mencatatkan, bukan mengesahkan seperti yang terjadi di Indonesia melalui UU Perkawinan yang tidak sempurna itu. Dengan tugas negara untuk mencatatkan, maka konsekuensi yang didapat warga negaranya adalah adanya pengakuan status hukum atas pernikahan mereka. Hal ini sesuai dengan pasal 23 konvenan internasional hak-hak sipil dan politik yang telah disahkan melalui UU no 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights, juga ditegaskan dalam pasal 16 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Bentrokan yang terjadi di Indonesia adalah ketika pernikahan dikaitkan dengan agama. Padahal agama pun juga domain pribadi tiap menusia. Hak menika melekat pada pribadi manusia, bukan melekat pada agamanya. Masalah muncul ketika negara berbentrokan kelompok-kelompok masyarakat. Ada masalah mengenai baaimana mengelola tuntutan mayoritas dan menempatkan minoritas. Padahal dalam HAM, tidak boleh ada pengutamaan kelompok mayoritas.
Situasi pernikahan beda agama di Indonesia yang dipersulit negara adalah suatu bentuk pelanggaran HAM negara terhadap warganya. Pertama, karena negara melanggar dengan membuat keputusan yang plin-plan (ketidakjelasan UU Perkawinan mengenai pernikahan beda agama). Kedua, karena negara melanggar dengan pengabaian masalah ini. Negara tidak melakukan sesuatu yang mendukung, menjamin, melindungi, dan memfasilitasi pernikahan beda agama.
Berdasarkan pola-pola permasalahan yang ditemukan, terlihat permainan politik yang sengaja memasukkan unsur politisasi identitas (salah satunya agama). Ini merupakan propaganda terhadap kelompok-kelompok tertentu. Maka seharusnya dalam hal ini negara membatasi, mengurangi propaganda tersebut, bukannya menciptakan (seperti yang terjadi saat Orde Baru). Di sini dapat dilihat bahwa negara telah melakukan kejahatan.
Unsur politisasi juga terlihat dengan tidak diakuinya pernikahan beda agama oleh negara dengan alasan bahwa terdapat perbedaan antara hukum negara dengan hukum agama. Perlu dicatat bahwa hukum negara tidak sesuai dengan hak privat warga negara. Pertentangan pernikahan beda agama selalu dikaitkan dengan UU Perkawinan. Padahal undang-undang bukan hukum. Bukan juga hasil kompromi setiap warga negara. Undang-undang dibuat oleh negara, pemerintah, dan DPR. Sehingga seharusnya undang-undang melingkupi setiap kepentingan warganya
E.     PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT HUKUM INDONESIA
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan MenteriAgama Nomor 154 tahun 1991 keluarlah KompilasiHukum Islam (KHI) yang menjadi hukum positif unikatif bagi seluruh umat Islam di Indonesia dan menjadi pedoman para hakim di lembaga peradilan agama dan menjalankan tugas mengadili perkara-perkara dalam bidang perkawinan,kewarisan dan perwakafan. Apabila dilihat berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 40 ayat (c) yang bunyinya “Dilarang perkawinan antara seorang wanita beragama Islam dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Larangan perkawinan tersebutmemiliki alasan yang cukup kuat yaitu apabila ditinjau dari segi UUP pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1/1974 sudah jelas diterangkan bahwa “tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya” sehingga antara KHI dan hukum perkawinan di Indonesia memiliki kaitan dalam urusan perkawinan beda agama ini. Alasan yang kedua yaitu apabila dihubungkan dengan dalil-dalil hukum Islam diantaranya larangan tersebut sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat perkawinan beda agama tersebut. Pada prinsipnya agama Islam melarang (haram) perkawinan antaraseorang beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam ( Al-QuransuratAl-Baqarah ayat 221),sedangkan izin kawin seorang pria Muslim dengan seorang wanita dari Ahli Kitab (Nasrani/Yahudi) ada pada surat Al-Maidah ayat 5 hanyalah dispensasi bersyarat yakni kualitas iman dan Islam pria Muslim tersebut haruslah cukup baik, karena perkawinan tersebut mengandung resiko yang sangat tinggi bagi rumahtangganya nanti. Karena itu pemerintah berhak membuat peraturan yang melarang perkawinan antara seorang yang beragama Muslim(pria/wanita) dengan seorang yang tidak beragama Islam(pria/wanita)apapun agamanya yang juga didukung oleh Kompilasi Hukum Islam pasal 50 ayat (c) dan pasal 4.
.
 PRO KONTRA PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA
Di sini saya akan memaparkan berbagai pendapat juga anggapan mengenai perkawinan beda agama dari ulama, pendeta, mahasiswa, masyarakat biasa, dan lain sebagainya. Diantara jawaban mereka, ada yang mendukung untuk disahkannya UU mengenai perkawinan beda agama, tetapi ada juga yang tidak mendukung sekali usulan disahkannya UU tersebut.
Pendapat yang kontra yaitu
-Semua agama melarang,
-Pernikahan merupakan proses sakral dan dilakukan dengan upacara agama,
-Nikah adalah domain agama, maka harus sesuai ajaran agama,
            -Negara hanya mengakui dan mencatat pernikahan yang sudah disahkan agama,
            -Agama tidak mengesahkan, maka negara tidak mengakui.
Pendapat yang pro yaitu
-Negara tidak boleh mencampuri apa yang dipercaya dan tidak dipercaya individu,
-Perkawinan adalah hak individu, negara tidak boleh mengintervensi,
-Intepretasi hukum agama dikembalikan kepada individu, bukan oleh Negara



BAB III
PENUTUP

A.    PENUTUP
Demikianlah  yang dapat saya sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan kurangnya rujukan atau referensi yang saya peroleh hubungannya dengan makalah ini. Saya berharap kepada para pembaca yang budiman memberikan kritik saran yang membangun kepada saya demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya dan juga anda para pembaca. Saya dapat menyimpulkan bahwa, pernikahan adalah merupakan sebuah karunia dan suatu cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan. Tidak akan ada sebuah peristiwa perkawinan yang terjadi tanpa suatu restu atau ijin kehendak dari-Nya.Sekian penutup dari saya, semoga dapat diterima di hati dan saya mengucapkan terimakasih.













                                                                                                                                 
DAFTAR PUSTAKA



Sengketa Wilayah Kepulauan Palmas antara Belanda dan Amerika

I. Latar Belakang
            Kepulauan Palmas atau bisa disebut Pulau Miangas adalah pulau yang terletak dekat antara Indonesia dengan Filipina. Pulau ini memiliki luas sebesar 3.15km2, terletak di kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Pulau ini adalah salah satu pulau yang tergabung dalam gugusan Kepulauan Nanusa yang berbatasan langsung dengan Filipina.[1]
            Jarak pulau Miangas dengan Kecamatan Nanusa adalah sekitar 145 mil, sedangkan jarak ke Filipina hanya 48 mil. Jumlah penduduk pulau ini sebanyak 678 jiwa (2003). Karena letak pulau ini dekat dengan Filipina, maka terjadi sengketa yang sudah terjadi sejak zaman penjajahan dahulu.
            Sengketa ini terjadi antara Amerika Serikat dan Belanda. Amerika Serikat dan Belanda merasa memiliki hak kedaulatan terhadap Pulau Palmas. Mereka sama-sama memiliki dasar untuk mengklaim pulau Palmas.[2]
            Kemudian kedua belah pihak pada tanggal 23 Januari 1925 setuju untuk membawa kasus tersebut ke Pengadilan Arbitrase Internasional. Keduanya meminta Pengadilan Arbitrase Internasional untuk memutuskan apakah Pulau Palmas masuk kedalam wilayah Amerika Serikat atau Belanda.

Permasalahan
Bagaimana hasil kajian Pengadilan Arbitrase Internasional tentang sengketa Kepulauan Palmas yang diperebutkan oleh Amerika Serikat dan Belanda ?

II. Analisa
            Perang yang terjadi antara Spanyol dan Amerika pada tahun 1898, menyebabkan penyerahan Filipina oleh Spanyol kepada Amerika Serikat berdasarkan Treaty of Paris. Pada tahun 1906, Amerika Serikat melalui pejabatnya mengunjungi Pulau Palmas yang diyakininya sebagai wilayah yang turut diserahkan kepadanya, mendapati bendera Belanda berkibar di Pulau Palmas.
            Kemudian kedua negara tersebut Amerika Serikat dan Belanda sama-sama mengklaim Pulau Palmas. Mereka memiliki dasar masing-masing. Amerika Serikat memiliki dasar yaitu Cesi, yang ditetapkan dalam Treaty of Paris. Cesi adalah transfer kekuasaan dari suatu kedaulatan ke kedaulatan yang lain  melalui perjanjian. Hal itulah yang dilakukan Spanyol kepada Amerika Serikat. Amerika Serikat menganggap dirinya adalah suksesor Spanyol sebagai penemu Pulau Palmas.
            Sedangkan Belanda mendasarkan klaim kedaulatannya terhadap Pulau Palmas pada alas hak okupasi yaitu melalui pelaksanaan kekuasaan negara secara damai serta terus menerus atas Pulau Palmas.[3]
Huber selaku Arbitrator memiliki pandangan terhadap sengketa ini. Fakta bahwa fungsi negara dapat dilakukan oleh tiap negara dalam suatu wilayah tertentu seperti laut lepas atau daratan tak bertuan, tak berarti bahwa wilayah itu merupakan wilayah negara tersebut. Bila timbul sengketa tentang kedaulatan atas wilayah biasanya diselidiki negara mana yang mempunyai alas hak seperti cesi, penaklukan, pendudukan, yang lebih kuat. Namun, terhadap fakta pelaksanaan kedaulatan secara aktual, tak cukup diajukan alas hak perolehan secara sah pada saat itu. Dasar perolehan hak secara sah itu harus disertai kelanjutan pelaksanaan hak tersebut dan kelanjutan itu ada pada saat yang menentukan bagi penetapan keputusan sengketa.[4]
            Kedaulatan teritorial dalam Hukum Internasional didasarkan pada tindakan yang efektif seperti penaklukan dan penyerahan. Kedaulatan teritorial melibatkan hak eksklusif untuk menampilkan kegiatan negara. Kedaulatan teritorial tidak hanya didasarkan pada kondisi pembentukkan negara merdeka dan batas-batasnya (sejarah politik), tetapi juga sebagai yurisprudensi internasional dan diterima secara luas.
Pelaksanaan kedaulatan teritorial ada celah waktu dan ruangnya tak berarti tak ada kedaulatan. Penilaian tergantung pada keadaan masing-masing. Mengenai sekelompok pulau mungkin sekelompok itu dianggap kesatuan dan nasib pulau utama mengkait yang lain. Harus dibedakan antara perbuatan pertama pemilikan, yang hampir tak dapat meliputi seluruh wilayah dan pelaksanaan kedaulatan sebagai manifestasi terus menerus dan perpanjangan yang harus meliputi seluruh wilayah. Wilayah yang dibahas sengketa ini adalah pulau terpencil. Ada  penduduknya yang tak memungkinkan tanpa pemerintah dalam waktu yang lama.
Pada saat Spanyol menyerahkan Filipina ke Amerika Serikat oleh Perjanjian 10 Desember 1898, pada saat itu Amerika memiliki pandangan bahwa tidak perlu menetapkan fakta-fakta yang menunjukkan kedaulatan sebenarnya diatas pulau Palmas.
Belanda mendasarkan klaim kedaulatan pada titel pelaksanaan kekuasaan negara secara damai dan terus menerus atas Pulau Palmas. Dalam Hukum Internasional titel ini mengungguli titel perolehan kedaulatan yang tidak diikuti dengan pelaksanaan aktual kekuasaan negara, perlu dipastikan pertama-tama apakah pernyataan Belanda cukup dibenarkan bukti-bukti dan untuk berapa lama.
Dalam pandangan Arbitrator, Belanda berhasil menetapkan fakta-fakta. Seperti Pulau Palmas sejak 1700 merupakan dua bagian negara pribumi Pulau Sangi. Selanjutnya negara pribumi ini sejak 1677 dan seterusnya tergabung dalam VOC, dengan kontrak kedaulatan benar bahwa negara bawahan itu sebagian dari wilayahnya. Kemudian tindakan karakteristik otoritas negara dilakukan dengan baik oleh penguasa tepatnya kepada pulau Palmas berlaku pada masa yang berbeda antara 1700 dan 1898, serta 1898 dan 1906.[5]
Perbuatan pelaksanaan kedaulatan Belanda atas Palmas secara langsung atau tidak langsung, terutama pada abad 18 dan 19 tidak terlalu banyak bukti kelangsungannya, tapi kedaulatan atas pulau kecil itu tak harus berlaku surut jauh sebelumnya. Cukup bila pelaksanaan itu ada pada tahun 1898 dan negara-negara lain berkesempatan dapat memastikan adanya keadaan yang tidak bertentangan dengan haknya. Menjelang tahun 1898 pemerintah Belanda mengadakan intensifikasi pelaksanaan pemerintahan di Palmas yang menunjukkan bahwa pulau Palmas adalah miliknya.
Syarat akuisisi kedaulatan dengan pelaksanaan kedaulatan negara secara terus menerus dan damai perlu diutarakan seperti pelaksanaan itu dilakukan terbuka dan umum yakni sesuai dengan kebiasaan pelaksanaan kedaulatan atas negara kolonial. Pelaksanaan kekuasaan negara secara klandestin atas wilayah yang berpenduduk selama waktu yang lama tampaknya tidak mungkin.
Syarat akuisisi kedaulatan oleh Belanda karenanya dianggap telah dipenuhi. Amerika Serikat sebagai suksesor dari Spanyol berada dalam posisi mengajukan titel yang kurang kuat dibandingkan dengan Belanda.
Jika titel penemuan dihapus oleh Treaty of Munster dan Utrecht hanya akan ada sebagai incohate titel sebagai klaim untuk menetapkan kedaulatan melalui okupasi. Titel incohate tak dapat mengungguli titel yang pasti berdasarkan pelaksanaan kedaulatan yang terus menerus dan damai.

Titel continguity, sebagai dasar kedaulatan wilayah, tak ada dasarnya dalam Hukum Internasional. Titel pengakuan dengan Treaty tak berlaku, sebab meski negara-negara Sangi, termasuk Miangas, dianggap dikuasai dan dipunyai Spanyol pada tahun 1648, hak Spanyol didapat dari Treaty of Munster (1648) telah dikalahkan oleh yang diperoleh dari Treaty Utrecht. Bukti pemilikan tahun 1714 tentang Pulau Palmas menguntungkan Belanda. Tetapi bila Treaty Utrecht tak dapat dipertimbangkan, penerimaan diam-diam Spanyol dalam situasi tahun 1677 menghapus kemungkinan menggunakan hak konvensional Spanyol beserta suksesornya sekarang. Titel kedaulatan Belanda yang diperoleh karena pelaksanaan kekuasaan negara dengan terus menerus dan damai selama mungkin surut sampai sebelum 1700 dengan demikian adalah kuat.[6]
Oleh karena itu berdasarkan alasan ini, Arbitror memutuskan bahwa Pulau Palmas seluruhnya merupakan bagian wilayah Belanda.

III. Kesimpulan
Belanda memakai dasar Hak Okupasi. Hak ini ditentukan oleh prinsip efektivitas, efektif berarti memenuhi dua syarat, yakni adanya kemauan untuk melakukan kedaulatan negara di wilayah yang diduduki dan adanya pelaksanaan kedaulatan negara yang memadai di wilayah itu.
Sedangkan Amerika Serikat menggunakan dasar hak Cesi. Hak ini adalah tambahan kedaulatan wilayah melalui proses peralihan hak yang dapat berupa pemberian, tukar menukar atau paksa. Cesi dapat terjadi dengan sukarela atau dengan paksa. Alas hak yang diperoleh melalui cara okupasi oleh Belanda lebih kuat dibandingkan cara cesi yang dilakukan oleh Amerika Serikat maka dari itu Arbitror memutuskan bahwa Pulau Palmas seluruhnya merupakan bagian wilayah Belanda.















Daftar Pustaka
Scott, Hague Court Reports 2d 83 (1932),”The Island of Palmas”, http://www.gwu.edu/~jaysmith/Island.html. 16 October 2015
Pulau Miangas. diambil dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Miangas pada tanggal 16 Oktober 2015

 

           



[1] Pulau Miangas. diambil dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Miangas pada tanggal 16 Oktober 2015

[2] Scott, Hague Court Reports 2d 83. Halaman 1 .1932.,”The Island of Palmas”, http://www.gwu.edu/~jaysmith/Island.html. 16 October 2015

[3] Scott, Hague Court Reports 2d 83. Halaman 1 .1932.,”The Island of Palmas”, http://www.gwu.edu/~jaysmith/Island.html. 16 October 2015

[4] Scott, Hague Court Reports 2d 83. Halaman 2 .1932.,”The Island of Palmas”, http://www.gwu.edu/~jaysmith/Island.html. 16 October 2015
[5] Scott, Hague Court Reports 2d 83. Halaman 3 .1932.,”The Island of Palmas”, http://www.gwu.edu/~jaysmith/Island.html. 16 October 2015
[6] Scott, Hague Court Reports 2d 83. Halaman 3 .1932.,”The Island of Palmas”, http://www.gwu.edu/~jaysmith/Island.html. 16 October 2015